Majalah Misteri : Kisah Nyata Terinjak Mayat di Kolam Renang

Majalah Misteri : Kisah Nyata Terinjak Mayat di Kolam Renang



Terinjak Mayat di Kolam Renang
Kangsambas, Kisah ini dimulai Sejak pensiun, Kang Endang Sutisna membeli rumah tua di
Rangkasbitung, Lebak, Banten. Rumah kami yang lama di Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta
Selatan, kami jual kepada Raam Sarkati untuk dijadikan studio syuting sinetron. Rumah yang
sangat kami sayangi tersebut terpaksa dijual karena kami membutuhkan uang sangat besar
untuk pengobatan Kang Endang yang sakit jantung. Bahkan untuk menggunakan ring di katup
jantungnya kami terpaksa merogoh kocek sebesar Rp 900 juta di rumah sakit jantung Harapan
Bangsa.
Dari rumah Pondok indah yang dijula Rp 15 milyar, kami bisa membiayai rumah sakit dan berobat
jalan di Singapura. Sebagian uang itu kami belikan rumah untuk ditinggali, sebuah rumah tua
bekas pemerintah Belanda di Desa Kias di pinggir kota Rangkasbitung. Luas tanah rumah itu
sangat luas. Lebarnya 5000 meter dan panjang tanahnya 6000 meter. Sedangkan bangunannya
betingkat dua, di atas tanah seluas 1500 meter. Rumah itu mirip musium dengan dinding yang
kumuh dan retak di sana-sini. Untuk merenovasi rumah itu, kami mengeluarkan biaya sebesar Rp
600 juta. Sedangkan harga rumahnya kami beli dengan pengusaha setempat sebesar Rp 5 milyar.
Belakangan, rumah ini menjadi heboh. Sebab di dalam rumah tua bangunan Nederland Projective
ini terdapat banyak keanehan. Keanehan yang terjadi adalah suara lonceng yang berbunyi sendiri
setiap pukul 23.00 malam dan gramophone serta piano yang dimainkan tanpa terlihat manusia
pemainnya sama sekali.
Pada tanggal 13 April tahun 1992 kami mulai menempati rumah itu. Mulanya kami tidak merasa
takut sama sekali karena rumah itu sangat nyaman ditinggali. Walau tanpa pendingin AC, rumah
bertinggi enam meter dengan 10 kamat tidur itu cukup sejuk. Sistem pentilasi udaranya sangat
bagus dan angin masuk ke dalam rumah dengan semilir adem. Semua anak-anak betah tinggal di
situ, apalagi ada dua piano bikinan Austria merek Karlzeir kesukaan Winda, anak sulungku yang
memang mahir bermain piano sejak kursus beberapa tahun dengan Ralf Herperziez, seniman Jerman yang buka sekolah musik di Melawai.
Sedang piano satu lagi, adalah piano sangat tua bikinan Jerman peninggalan residen Belanda
Hermann Van Heilz. Piano tua yang sudah rontok tali-yalinya akbat dimakan tikus itu tak bisa
dibetulkan lagi karena rusak parah. Tapi piano itu tetap kami bersihkan dan terlihat sangat cantik
dan antik. Alat musik pencet merk Herkens itu dibuat pada abad 17 masehi di kota Berlin Jerman
Timur. Piano tua itu hanya kami jadikan pajangan sebagai barang antik yang menghiasi ruang
tamu bagian tengah rumah kami. Teman-teman senimanku seperti pelukis Titis Jabarudin sangat
terkesan dengan piano itu. Bahkan dia berminat mengganti denan uang Rp 100 juta walau piano
itu tidak lagi berfungsi. Namun karena kami sangat sayang, maka uang tawaran pelukis Titis
Jabarudin sebesar itu kami tolak dan kami lebih suka piano itu terpajang indah di rumah kami.
Pemusik Harry Johan juga sangat tertarik dan mau membelinya, tapi kami tetap tidak akan
menjualnya walau harga berapapun dan kepada siapapun.
Setelah empat bulan kami tinggal di rumah tua ini, kami membangun kolam renang di bagian
belakang rumah. Saat membongkar tanah, tukang gali tanah untuk kolam itu menemukan satu
patung wajah meneer Belanda sedang memegang pedang. Patung Meneer Van Debosh asal
Belanda itu menggunakan pakaian tentara Nederland dan berdiri dengan gagah. Patung itu kami
bersihkan lalu kami tempatkan di ruang tamu bagian depan.
Belakangan, patung Van Debosh itu menunjukkan tanda yang aneh-aneh. Matanya yang menatap
tajam, terkadang terlihat menutup dan bibirnya yang merengut sesekali terlihat tersenyum
mengeluarkan giginya yang rapih. Bahkan pedang panang yang dipegangnya, sesekali terlihat
diayunkan ki atas ke bawah, yang membuat kami menjadi penasaran. Anak bungsuku, Linggar,
bahkan pernah mendengar suara bercakap yang keluar dari mulut patung ajaib itu.
Belakangan, banyak keanehan yang terjadi dalam rumah kami yang membuat kami miris. Piano
tua bikinan Jerman yang rusak itu, tiba-tiba dimainkan oleh seseorang di tengah malam, tapi
orang yang memainkannya tidak terlihat sama sekali. Suara instrumentalia musik yang
diperdengarkan sangatlah indah. Piano itu menyuarakan musik klasik ciptaan Bethoven dan Bach.
Sementara itu, alat musik tua gramaphone yang sudah tinggal bangkai, juga suka mengeluar
bunyian yang merindingkan bulukuduk kami sekeluarga.
Karena tidak mengerti mistik, kami pun akhirnya mendatangkan ahli supranatural Haji Kosim
Jamil, paranormal asal Bengkulu yang bermukim di Kalianda, Lampung Selatan. Haji Kosim Jamil
menginap beberapa hari di rumah kami untuk menyelidiki suara-suara itu. Baik dari patung Van
Debosh, gramaphone maupun dari piano rongsok itu. Anehnya, selama Haji Kosim di rumah kami,
tidak sekalipun benda-benda itu berbunyi. Benda-benda itu sama sekali tidak menunjukkan
jatidirinya sebagai benda yang diisi kekuatan gaib.
Tapi saat malam terakhir sebelum pulang ke Kalianda, Haji Kosim Jamil dapat berinteraksi dengan
patung Van Debosh itu. Si Patung bersuara, bercapak dalam bahasa Belanda kepada Haji Kosim
dan patung itu mengerakkan pedang, kaki dan mulutnya secara seksama. Kepada Haji Kosim
Jamil, patung itu minta dikembalikan ke tempat asalnya, di dalam tanah areal kolam renang yang
kami bongkar. Karena tanah itu sudah jadi tembok kolam, maka Haji Kosim Jamil menanam
patung itu di sebelah kolam renang. “Tidak apa-apa dikubur di sebelah kolam, yang penting aura
tanahnya masih sama dan insya Allah patung itu menerima ditempatkan di sini!” desis Haji Kosim
Jamil kepada kami, saat melakukan ritual penguburan patung itu.
Setelah mengubur patung itu, Haji Kosim Jamil pulang meninggalkan rumah kami. Tapi suarasuara
aneh yang keluar dari piano dan gramaphone tidak berhenti juga. Setiap tengah malam,
piano dan gramaphone itu tetap berbunyi sedniri dan membuat kami ketakutan. Besok harinya,
Kang Sutisna kembali mendatangkan Haji Kosim Jamil dai Kalianda. Haji Kosim kembali menginap
namun kali ini datang dengan istrinya Hajjah Hindun. Hajjah Hindun juga seorang paranormal dan
mampu berdialog dengan mahluk gain bangsa jin yang tersebar di antero negeri ini. Bahkan di
Lampung, Hajjah Hindun lebih dikenal ketimbang suaminya sebagai paranormal. Hajjah Hindun
banyak didatangi pasien untuk mengobati segala macam penyakit dan dia mampu membantu
siapapun yang menderita penyakit seberat apapun yang diakibatkan oleh ilmu teluh.


Haji Kosim dan Hajjah Hindun pun melakukan ritual pengusiran roh halus penghuni rumah kami.
Dalam ritual itu terjadi pertempuarn yang sangat besar, sebab jin-jin peninggalan Belanda itu tidak
mau pergi dari rumah tua kami. Mereka menolak pergi karena mereka sudah tinggal selama
ratusan tahun di rumah bekas pejabat pemerintah kolonial tersebut. Bahkan mereka datang ke
daerah itu sejak abad 16 akhir dan bemukim di wilayah Rangkasbitung, Lebak, Banten tersebut.
Hajjah Hindun terpontang panting dalam ritual itu karena mendapat perlawanan sengit dari jin-jin
penghuni rumah kami. Begitu juga dengan suaminya, Haji Kosim Jamil yang sempat pingsan
beberapa saat, lalu siuman setelah dimantra-mantrai oleh Hajjah Hindun.
Karena berkeras untuk tidak pergi, akhirnya para mahluk gaib penghuni rumah kami, berjanji untuk
tidak bersuara lagi. Asal satu syarat dipenuhi, bahwa Hajjah indun tidak mengusir mereka ke
Samudera Hindia, laut selatan Banten Kidul. Hajjah Hindun pun bersepakat dengan mereka,
bahwa tidak ada pengusiran dan mereka diminta untuk tidak bersuara mengganggu penghuni
rumah. Kesepakatan pun terjadi dan hingga kini piano serta gramaphone itu tidak berbunyi lagi.
Haji Kosim dan Hajjah Hindun pun kembali ke rumah mereka di Kalianda, Lampung Selatan.
Belakangan, saat mau menyeburkan diri di kolam renang, aku terkejut melihat bayang-bayang
tentara membawa pedang di ujung kolam. Bayang-bayang itu melintasi bibir kolam dari pohon
mangga menuju pohon manggis sebelah selatan kolam renang kami berukuran besar itu. Saat itu
senja merangkak menjelang sore dan aku mau olahraga berenang karena hobiku itu sejak lama
aku jalani sejak memliki kolam berenang itu. Karena terkejut melihat bayang-bayang itu, aku
memanggil suamiku Kang Sutisna dan ayah empat anakku itu segera mendatangiku. Arkian,
sayangnya bayangan itu tidak ada lagi terlihat dan Kang Sutisna tidak melihat apapun
sebagaimana apa yang aku lihat.
Karena trauma pada sosok bayangan tentara Belanda itu, aku meminta Kang Sutisna
menemaniku berenang dengan duduk di kursi malas tepi kolam. Kang Sutisna mengawasi aku
sambil membaca majalah Tempo, yang sesekali melepas bacaan itu sambil mencandaiku yang
katanya berenang seperti kodok ngorek. Pada saat jauh dari pandangan Kang Sutisna di bagian
ujung kolam, aku terkejut lagi melihat bayangan lagi melintas dari pohon amnggis ke pohon
mangga. Pergerakan bayangan itu berubah, berbalik arah, di mana sebelumnya aku melihat dari
pohon mangga berjalan ke arah pohon manggis. “Kang, apakah Akang tidak melihat bayangan
yang baru saja terlihat di sini?” teriakku. Kang Sutisna menggelengkan kepala, lalu berdiri
mendekati pohon mangga tempat arah perginya bayangan itu. “Hei, hantu Belanda, jangan kau
menakut-nakuti istriku ya? Bila kau masih menakut-nakuti istri, aku akan panggil lagi Hajjah
Hindun dan kau akan dibuang ke laut selatan. Mengerti kau?” bentak Kang Sutisna, nekad,
sebagaimana yang diajarkan oleh Hajjah Hindun kepadanya bila melihat sosok bayangan sang
hantu.
Belum lama setelah Kang Sutisna usai bicara begitu, tiba-tiba angin puting beliung datang. Arus
angin yang sangat deras datang dari barat itu, sangat keras mengguncang dedaunan pohon
mangga dan pohon manggis di selatan kolam renang itu. Tiba-tiba dedaunan dua pohon itu
meranggas, rontok melayang-layang ke dalam kolam. Permukaan kolam pun akhirnya penuh
dengan daun kering dan aku pun bersiap untuk naik ke atas kolam lalu masuk ke dalam rumah.
Pada saat kakiku menginjak anak tangga kolam, jantungku bergetar hebat. Arkian, ternyata
kakiku terinjak dengan bangkai manusia yang tergolek di dasar kolam. Bangkai manusia itu kulihat
jelas bertubuh bule, jangkung dan rambutnya pirang serta berhidung mancung. “Oh Tuhan, ada
mayat di bawah kakiku ini!” teriakku.
Kang Sutisna segera mendekat dan penasaran dengan apa yang baru saja aku injak. Benar saja,
ternyata Kang Sutisna juga melihat bangkai amnusia di dasar kolam itu dan suamiku itu segera
menarik tanganku untuk naik ke daratan. Tangan dan kakiku yang kaku pun akhirnya membuat
blunder, menarik tangan Kang Sutisna lalu menjungkalkannya ke dasar kolam. Kami berdua
akhirnya tenggelam ke daear kolam, tergolek bersama mayat orang Belanda yang menyeramkan
itu. Sebelum kami kehabisan nafas. Tiga dari empat anakku menyelamatkan kami dan kami bisa
diangkat oleh mereka ke daratan lagi. Pada saat kami sudah berada di atas, kami kembali melihat
ke dasar kolam dan mayat Belanda itu sudah tidak ada lagi di sana.
Keesokan harinya kami kembali mendatangkan Hajjah Hindun dan Haji Kosim Jamil ke Rangkasbitung. Mereka kembali menginap di rumah kami dan kali ini melakukan ritual di kolam
renang. Dalam ritual itu, terjadi lagi pertarungan seru antara mahluk gaib peninggalan Belanda itu
dengan kediua suami istri yang berprofesi sebagai paranormal itu. Namun kali ini, Hajjah Hindun
dan Haji Kosim Jamil memenangkan pertarungan. Jin menyerupai orang Belanda itu mengalah
untuk tidak menampakkan diri lagi. Tapi syarat yang dimintanya adalah memindahkan patung
yang ditanam sebelah kolam renang untuk dilarung ke laut selatan. Bersama Hajjah Hindun dan
Haji Kosim Jamil, kami akhirnya pergi melarung patung tentara berpedang itu ke Bukit Bayah,
Malimping, suatu puncak karang hitam di Banten Selatan. Dari ketinggian 20 meter, aptung itu
dilempar Hajjah Hindun ke laut Samudera Hindia dan patung itu tengelam dalam keganasan
ombak Karang Bayah.
Pada saat kami akan pergi meninggal Karang Bayah, tiba tiba terdengar suara orang berbahasa
Belanda, menyatakan sesuatu dari bawah bukit. Suara itu bersumber dari patung yang tenggelam
di bawah bukit karang yang kami injak. Penghuni gaib patung itu, kata Hajjah Hindun, meminta
agar setiap satu tahun, satu suro, diberi kembang tujuh taman yang dilarung ke daerah itu. Selain
kembang tujuh taman, dia minta juga darah kerbau bule dan minyak wangi Elizabeth Arden. “Bila
permintaan itu tidak dipenuhi, dia akan kembali naik ke darat dan pulang ke rumah kalian di
Rangkasbitung itu. Maka itu, tolong pada setiap satu suro, kalian datang ke sini dan memenuhi
permintaannya itu,” pinta Hajjah Hindun kepada kami.


Alhamdulillah, hingga awal tahun 2011 ini, mahluk-mahluk aneh di rumah kami tidak
menampakkan diri lagi. Jangankan maujud, bersuara pun, tidak lagi mereka lakukan. Aku tidak
tahu pasti, apakah semua mahluk halus itu sudah pergi dari rumah kami atau masih ada di sekitar
kami namun takut melanggar perjanjian dengan Hajjah Hindun hingga tidak beraksi lagi. Namun
yang jelas, hingga kini kami sekeluarga hidup tenang dan damai, bisa berenang dengan nyaman
dan bisa tidur setiap malam dengan nyenyak. Namun setiap tahun, pada setiap tanggal Satu
Suro, kami pergi ke laut untuk larungan. Kami memberikan seserahan kembang tujuh taman, satu
botol besar darah kerbau bule dan menabur wewangian minyak parfum asli Prancis, parfum
Elizabeth Arden kepada laut selatan. Kata Hajjah Hindun, benda-benda itulah yang jadi makanan
Sang Hantu dan dia tidak akan kembali ke rumah kami selagi ritual itu dilakukan pada setiap tahun
di Karang Bayah, karang tinggi di atas ombak besar laut selatan yang mengerikan di Banten Kidul
itu.
Hingga kini, sesuai saran Hajjah Hindun dan Haji Kosim Jamil, setiap malam Jumat di rumah kami
dibuatkan pengajian. Secara bergantian pula para pengkhotbah agama Islam kami datangkan
dari beberapa tempat untuk berceramah agama. Kami juga mengumpulkan tetangga dan temanteman
untuk mengaji bersama, membaca Surat Yasin dan tahlil untuk mendoakan orang-orang
muslim dan muslimah yang sudah meninggal dunia. Kami juga setiap minggu memberi makan
anak yatim, orang miskin dan orang-orang jompo yang terlantar di Rangkasbitung untuk samasama
menikmati rizkih yang kami dapat sebagai seniman kerajinan tangan yang mengekspor
patung-patung kayu secara rutin ke Yunani, Eropa barat

0 comments:

Post a Comment